Sabtu, 24 September 2016

ZOONOSIS

LEPTOSPIROSIS

Oleh: Drh. S. Dharmojono

PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah salah satu penyakit hewan yang dapat  menular  kepada manusia jadi ia adalah tergolong zoonosis penting di Indonesia. Leptospirosis disebut pula Weil’s disease atau “red water disease” (of calves) pada ternak sapi atau Canine typhus (pada anjing) atau non-virus infectinous jaundice).
Mikroorganisme penyebab penyakit ini adalah Leptospira yang dari aspek imunologik mempunyai bermacam serovars. Kebanyakan serovars itu tergolong kedalam kelompok Leptospira interrogans . Leptospira menyukai tinggal didalam Ginjal dan organ Reproduksi. Itulah sebabnya Laptospira dapat keluar dari tubuh penderita bersama ekresi urine dalam jumlah besar selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

PENYEBAB PENYAKIT

Penyakit Leptospirosis disebabkan oleh infeksi  bakteri Leptospira. Bakteri ini berbentuk/benang (filament) berplintiran dengan ujung membentuk kait, berukuran panjang 6-20 mikrometer dengan diameter 01-0,2 mikrometer. Bakteri ini dapat bergerak mundur maju dan berputar sepanjang sumbunya. Dari Leptospirosis yang telah dapat diisolasi, aspek antigeniknya (yang disebut serovars) bakteri Leptospira ditemukan 175 macam yang berbeda. Antar serovars ini dapat terjadi imunitas silang (cross immunity) secara moderat saja. Infeksi oleh lebih dari 2 serovars tidak jarang ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska infeksi umumnya zat kebal aglutinasi (agglutinating antibodies) terbentuk. Titer antibody itu meningkat dengan cepat tapi kemudian menurun dalam beberapa bulan sampai kepada tingkat moderat dan tetap ada beberapa minggu, tetapi ada yang sampai bertahun-tahun.
Anak-anak sapi yang terlahir dari induk yang sebelumnya pernah terinfeksi Leptospirosis, kolustrum induk mengandung zat kekebalan induk (maternal immunity), bila diberikan kepada pedetnya dapat memberikan kekebalan pasif hangga 6 bulan.
Bakteri Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon korbannya, karena itu Leptospirosis kadang disebut “water born disease”, penyakit yang timbul dari air. Pada ternak sapi, serovars yang pernah diisolasi adalah: L. harjo, L.pomona, L. grippotyphosa, L. canicola dan L. icterohaemorrhagica. Dua serovars yang disebut terakhir adalah yang biasa menyerang anjing.
Di Indonesia, sudah sejak zaman Hindia Belanda banyak ditemukan Leptospirosis pada manusia dan pada hewan anjing, babi, tikus dan kalong. Pernah dapat diisolasi serovars harjo, bataviae, javanica, semarang, medanesis, djasma, sentot dan paijan.
Drh Soeratno Partoatmodjo (1964), melaporkan serovars positif pada sapi, kerbau dan babi, sedangkan sebanyak 21% babi-babi yang dipotong di rumah pemotongan hewan Bogor didalam Ginjalnya mengandung Leptospira.
Darodjat (1978) menyatakan bahwa 31% sapi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan reaksi positif dengan UAM (Uji Aglutinasi Mikroskopik).

PERJALANAN PENYAKIT

Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput lendir (mucous membrane), misalnya konjunktiva (mata) karena kecripatan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urine atau cemaran oleh keluaran urogenetalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri leptospira.
Bila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira, bakteri ini segera masuk ke jaringan tubuh. Kalau korbannya kebetulan sedang bunting umumnya akan keguguran apalagi bila kebuntingan masih dalam masa 3 bulan pertama. Keguguran oleh infeksi L. harjo atau L. Pomona umumnya terjadi 3-10 minggu setelah infeksi. Keguguran oleh infeksi Leptospira seringkali disertai retensi fetal membrane yang dapat menyebabkan gangguan fertilitas di kemudian hari. Di dalam organ Ginjal akan terjadi lesi dalam bentuk kepucatan/kematian disebagian daerah (infark) merah atau putih yang menyebabkan mottleing dibagian kortek. Hati membengkak dengan di sana-sini terjadi kematian jaringan (necrosis).

SIMPTOMATOLOGI

Tergantung kepada berat ringannya infeksi, demikian pula gejala yang ditampilkan bisa serius, cukup berat atau ringan saja. Hewan yang kondisi fisik dan imunologiknya baik, penderita dalam waktu singkat mampu membentuk zat antibody untuk melawan dan dapat sembuh. Gejala yang sering terlihat pada penderita adalah hemolitik ikterus dan hemoglobunuria. Gejala demikian terjadi 50% pada infeksi oleh L. pumona pada sapi-sapi yang masih muda. Mortalitas penyakit ini antara 5-15%, sedangkan morbiditasnya 75% (pada sapi tua) dan 100% pada sapi muda. Gejala lain pada sapi muda adalah demam (40,5-41 C), tengkurap ditanah (lantai kandang), anoreksia dan dispnoe. Gejala ikterus akan segera hilang tetapi gejala anemia segera muncul, dalam 4-5 hari pertama jumlah butir darah merah (RBC) meningkat dan kemudian 7-10 hari kembali normal. Pada kondisi meningkatnya demam terjadi pula albuminuria. Pada penderita sapi juga terjadi leukositosis. Infeksi oleh L. harjo jarang sekali memperlihatkan gejala ikterus, hemoglubinuria dan anemia, sehingga lebih menyulitkan upaya menegakkan diagnosis.
Warna airsusu penderita menjadi “tebal” (thick), kuning kadang bercak darah (blood tinged), tetapi produksi airsusu akan kembali normal setelah 10 hari kemudian.
Leptospirosis pada kuda memperlihatkan gejala demam, suhu badan 39,5 – 40,5 C selama 2-3 hari, depresi, lesu dan loyo (dullness), hilang nafsu makan, ikterus dan netrofilia. Bila kuda penderita sedang bunting, keguguran dapat terjadi beberapa minggu setelah demam. Infeksi ringan tidak memperlihatkan gejala.. Pada penderita kuda terdapat lesi-lesi pada mata.
Leptospirosis pada manusia dapat memperlihatkan gejala demam, sakit kepala (headaches), bercak merah pada kulit (rash), nyeri otot (myalgia) dan perasaan sakit  atau tidak nyaman seluruh tubuh (malaise).

DIAGNOSIS

Diagnosis tidak boleh hanya didasarkan kepada gejala dan tanda klinik saja, melainkan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Serologik memperlihatkan peningkatan titer dalam serum penderita. Serum diambil dari hewan tersangka, sekali ketika gejala akut dan sekali lagi ketika penyakit sudah berjalan 7-10 hari. Uji serologic dilakukan dengan cara Uji Aglutinasi Mikroskopik (microscopic agglutination test) atau uji aglutinasi mikrotiter (microtiter agglutination test). Uji lain dilakukan dengan Elisa dan uji fixasi komplemen (complement fixation test). Lebih baik lagi diikuti dengan uji biologic dengan menyuntikkan 0,5 ml darah penderita (diambil secara aseptic) kepada hewan percobaan atau media laboratorium lainnya. Urine (yang baru dikoleksi) dari hewan tersangka yang telah disentrifuse dapat diperiksa dibawah mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). Karena leptospira dikeluarkan hewan penderita secara intermiten, maka bila pemeriksaan pertama negative, harus dilakukan lagi pemeriksaan ulang.
Pemeriksaan patologik dilakukan dengan melakukan seksi jaringan ginjal dan atau hati yang diwarnai dengan Levaditi (silver impregnation method of Levaditi) atau teknik Warthin Starry.
Leptospirosis pada kuda, salah satu gejalanya adalah adanya radang konjuktiva (conjunctivitis) dan uveitis. Dari ekskresi mata dapat diisolasi bakteri leptospira nya.
Pada penderita babi memperlihatkan gejal demam, ikterus, hilang nafsu makan, gangguan alat pencernakan. Kadang ada gejala syaraf seperti terjadinya kekakuan karena radang otak (meningitis with rigidity), spasmus dan berputar-putar, perdarahan dan kemudian mati.

PENGOBATAN

Kalau wabah Leptospirosis timbul dalam peternakan kelompok kecil, maka penyebaran penyakit juga terbatas. Bila Leptospirosis menyerang peternakan kelompok besar secara endemic, maka dilakukan tindakan imunisasi yang dikombinasi dengan kemoterapi. Pemberian antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, oksitetrasiklin, bila dapat dilakukan pada awal penyakit akan banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis 10 mg/kg berat badan selama 5 hari pada ternak babi penderita leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan 86% (Marshal). Pemberian per-oral oksitetrasiklin 500-1000 gram kepada setiap ton makanan ternak dan diberikan selama 14 hari berturut-turut dapat menghilangkan keadaan sebagai pembawa bibit penyakit (carrier state) pada ternak babi 94% (Baker).
Anjing penderita L. canicola sangat efektif diobati dengan penisilin, tetapi tidak bila oleh L ichterohemorrhagica. Pemberian antibiotika itu akan sangat mengurangi leptospira yang berada didalam ginjal dan jaringan-jaringan lainnya sehingga akan memberikan kondisi yang konduktif bagi vaksinasi yang akan dilakukan.
Ternak sapi yang sedang produktif, hanya sapi yang menderita saja yang diberi antibiotika, karena antibiotika akan merupakan bahan tinggalan (residu) didalam air-susu. Karena itu sebelum waktu hilangnya residu antibiotika, produksi air-susunya tidak boleh dikonsumsi. Hewan yang telah menjadi pembawa penyakit (life carrier) sulit diobati lagi. Bila terjadi anaemia yang kritis, transfuse darah perlu diberikan.

PENCEGAHAN

Hewan penderita harus diisolasi dan jauh dari sumber penularan, seperti daerah tergenang air, karena Leptospira menyukai hidup dipermukaan air. Karena tikus-tikus senang bersarang dislokan-slokan, padahal tikus salah satu hewan pembawa bacteria ini, oleh karena itu upayakan agar slokan-slokan tidak menjadi sarang tikus dan diupayakan juga agar air mengalir lancar sedemikian rupa sehingga selokan selalu kering, jangan dibiarkan air menggenang didalamnya.
Seyogyanya ternak dikandangkan dalam wilayah yang terpagar, sehingga keluarannya tidak akan mencemari sumber bahan makanan dan minuman ternak lainnya atau keperluan manusia. Daerah tertular juga harus dibebaskan dari tikus-tikus dan satwa liar lainnya karena bakteri ini dapat disebarkan secara mekanik atau fisik dari hewan pembawa ini (wildlife carrier).
Vaksin Anti-leptospirosis pada hewan (anjing) telah lama ditemukan dan dipakai dalam praktek khususnya hewan kecil (anjing). Vaksin ini dari tahun ketahun selalu disempurnakan sesuai dengan teknologi baru. Vaksin Leptospira adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bacterins) sekaligus bertindak sebagai solvent bila vaksin Ini dikombinasi dengan vaksin lain. Untuk anjing vaksin Leptospirosis umumnya dikombinasi dengan anti-distemper, adenovirus dan rabies. Anti Leptospirosisnya sendiri terdiri dari dua serovar, umumnya L. canicola dan L. ichterohemorhagica.
Pencegahan Leptospirosis pada ternak sapi (terutama sapi perah) harus didasarkan kepada vaksibasi tahunan serta diiringi dengan sanitasi dan hygiene lingkungan, antara lain dengan cara pembrantasan tikus seperti telah diutarakan sebelumnya. Pemberian bakterins Leptospirosis akan melindungi sapi-sapi yang sedang bunting dari keguguran dan kematian dan dengan nyata dapat mengurangi masuknya bakteri kedalam Ginjal.
Tempat-tempat sumber air (yang mengalir) agar dipagari agar hewan tidak mencemari sumber air tsb dengan kotoran dan urinenya. Pisahkan ternak sapi dengan ternak babi dan cegah hewan liar (wildlife). Lakukan vaksinasi terhadap ternak-ternak yang baru datang, ternak pengganti (replacement stocks).
Bakterin Leptospira untuk kuda belum dikembangkan, mungkin karenna faktor ekonomi, antara biaya produksi dan jumlah dosis pemakainya tidak imbang.
Pada ternak babi (rakyat) yang dipelihara berkelompok, umumnya terjadi karena babi kontak langsung dengan urine dari babi yang menderita atau dari satwa liar yang berseliweran di lingkungannya.

KESEHATAN MASYARAKAT

Manusia rawan oleh infeksi dari semua serovars Leptospira patogenik asal hewan ternak maupun hewan piara. Infeksi oleh Leptospira pada manusia umumnya disebabkan karena kontak dengan air yang tercemar oleh bakteri ini. Seperti pada hewan, gejala Leptospirosis pada manusia dapat berat, moderat dan ringan, tergantung kepada benyak sedikitnya bakteri pathogen yang masuk kedalam tubuh. Apabila bakteri Leptospirosis sampai masuk ke Organ Ginjal dapat menyebabkan gagal fungsi Ginjal, akibatnya sangat fatal. Para penyayang/pemelihara hewan anjing agar memintakan vaksinasi terhadap penyakit ini kepada Dokter Hewan praktek.
Karyawan rumah potong hewan, kebun binatang, peternak dan karyawannya agar waspada akan pencemaran urine, lakukan tindakan vaksinasi dan kebersihan lingkungan, sanitasi dan higiene lingkungan, juga rumah tangga pemelihara hewan kesayangan. Tikus ternyata merupakan hewan utama sebagai pembawa sekaligus penyebar bakteri ini. Kencing tikus yang terbawa air slokan, kali banjir dsb merupakan sumber penularan. Orang yang tinggal didaerah-daerah banjir seringkali tertular bakteri ini. Babi yang terinfeksi Leptospira dan mampu bertahan dari infeksi akut dapat mengekskresi Leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama, dapat sampai setahun. Babi pembawa bakteri ini potensial penyebar penyakit, sehingga dahula penyakit ini pernah disebut “swineherd’s disease”.
Dalam alam, pembawa bakteri ini yang utama adalah hewan pengerat (rodentia), terutama tikus. Peternakan babi yang jorok dan anjing liar merupakan pembawa bakteri yang potensial (life carriers).
Infeksi Leptospira dapat terjadi pula per-inhalasio (lewat pernafasan), atau kontak langsung dengan kulit orang-orang yang pekerjaannya dekat dengan hewan dan tidak melakukan sanitasi dan hygiene. Anak-anak penggembala ternak yang mandi dikali bersama ternaknya, adalah potensial ketularan penyakit ini. Jembangan-jembangan untuk mandi atau menyimpan air minum harus ditutup mencegah tercemarnya bakteri ini.
Hewan penderita Leptospirosis dilarang dipotong untuk konsumsi. Masyarakat hendaknya membeli daging dikios-kios daging yang mempunyai  izin, bersih lingkungan sanitasi dan higienis. Pilih daging asal pemotongan yang legal dari Rumah Potong Hewan legal dan ada stempel pemeriksaan daging (meat hygiene).

PERATURAN & PERUNDANGAN

Haruslah ada peraturan yang melindungi karyawan yang bekerja dilingkungan yang intensif berhubungan dengan hewan, misalnya karyawan rumah sakit hewan, rumah pemotongan hewan, kebun binatang, kennel (breeder hewan), tempat penitipan hewan, peternakan sapi, kambing, kuda, babi, dll. Mereka wajib mengenakan masker, sarung tangan, pakaian kerja yang licin (kotoran sukar menempel), sepatu panjang (boot) terbuat dari karet untuk menghindari kontaminasi oleh kotoran dan keluaran hewan lainnya. Sebenarnya kelengkapan kerja seperti ini bukan hanya untuk melindungi diri dari penyakit ini saja tetapi terhadap penyakit pada umumnya.
Hewan potong harus diistirahatkan dahulu, kemudian diperiksa dengan teliti, apalagi kalau hewan berasal dari daerah endemic Leptospirosis. Apabila menderita Leptospirosis positif, hewan dilarang untuk konsumsi.

REFERENSI

Anonim                        : Merck’s Veterinary Manual, 7th Ed. (1991)
……………….             : Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular, Dir KesWan, Dirj Peternakan, KemTan (1985)
Budi Tri Akoso            : Kesehatan Sapi, Penerbit Kanisius, Jogya (1996)
Dharmojono                : 15 Penyakit Binatan menular ke manusia, Melinia, 2001
Ressang, AA               : Patologi Khusus Veteriner Ed-II, 1984
Seddon, HR                : Bacterial Disease Part 5, Vol.II, Dept of Health, Australia (1965)

Subronto                     : Ilmu Penyakit Ternak I, UGM Jogya, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar