LEPTOSPIROSIS
Oleh:
Drh. S. Dharmojono
PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah salah satu penyakit hewan yang
dapat menular kepada manusia jadi ia adalah tergolong
zoonosis penting di Indonesia. Leptospirosis disebut pula Weil’s disease atau “red
water disease” (of calves) pada ternak sapi atau Canine typhus (pada anjing) atau non-virus infectinous jaundice).
Mikroorganisme
penyebab penyakit ini adalah Leptospira yang dari aspek imunologik mempunyai
bermacam serovars. Kebanyakan serovars itu tergolong kedalam kelompok Leptospira interrogans . Leptospira
menyukai tinggal didalam Ginjal dan organ Reproduksi. Itulah sebabnya
Laptospira dapat keluar dari tubuh penderita bersama ekresi urine dalam jumlah
besar selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
PENYEBAB PENYAKIT
Penyakit Leptospirosis disebabkan oleh
infeksi bakteri Leptospira. Bakteri ini
berbentuk/benang (filament)
berplintiran dengan ujung membentuk kait, berukuran panjang 6-20 mikrometer
dengan diameter 01-0,2 mikrometer. Bakteri ini dapat bergerak mundur maju dan
berputar sepanjang sumbunya. Dari Leptospirosis
yang telah dapat diisolasi, aspek antigeniknya (yang disebut serovars) bakteri Leptospira ditemukan
175 macam yang berbeda. Antar serovars
ini dapat terjadi imunitas silang (cross
immunity) secara moderat saja. Infeksi oleh lebih dari 2 serovars tidak jarang ditemukan. Dalam
waktu 6-12 hari paska infeksi umumnya zat kebal aglutinasi (agglutinating antibodies) terbentuk. Titer antibody itu meningkat
dengan cepat tapi kemudian menurun dalam beberapa bulan sampai kepada tingkat
moderat dan tetap ada beberapa minggu, tetapi ada yang sampai bertahun-tahun.
Anak-anak sapi
yang terlahir dari induk yang sebelumnya pernah terinfeksi Leptospirosis, kolustrum induk mengandung zat kekebalan induk (maternal immunity), bila diberikan
kepada pedetnya dapat memberikan kekebalan pasif hangga 6 bulan.
Bakteri Leptospira menyukai tinggal dipermukaan
air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon korbannya, karena itu
Leptospirosis kadang disebut “water born
disease”, penyakit yang timbul dari air. Pada ternak sapi, serovars yang
pernah diisolasi adalah: L. harjo, L.pomona, L. grippotyphosa, L. canicola dan
L. icterohaemorrhagica. Dua serovars
yang disebut terakhir adalah yang biasa menyerang anjing.
Di Indonesia,
sudah sejak zaman Hindia Belanda banyak ditemukan Leptospirosis pada manusia dan pada hewan anjing, babi, tikus dan
kalong. Pernah dapat diisolasi serovars
harjo, bataviae, javanica, semarang, medanesis, djasma, sentot dan paijan.
Drh Soeratno Partoatmodjo (1964), melaporkan serovars positif pada sapi, kerbau dan babi, sedangkan sebanyak 21%
babi-babi yang dipotong di rumah pemotongan hewan Bogor didalam Ginjalnya
mengandung Leptospira.
Darodjat (1978)
menyatakan bahwa 31% sapi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan
reaksi positif dengan UAM (Uji Aglutinasi Mikroskopik).
PERJALANAN PENYAKIT
Infeksi oleh
Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput lendir (mucous membrane), misalnya konjunktiva
(mata) karena kecripatan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan
urine atau cemaran oleh keluaran urogenetalis lainnya atau mengkonsumsi makanan
atau minuman yang tercemar oleh bakteri leptospira.
Bila hewan korban
terinfeksi bakteri Leptospira, bakteri ini segera masuk ke jaringan tubuh.
Kalau korbannya kebetulan sedang bunting umumnya akan keguguran apalagi bila
kebuntingan masih dalam masa 3 bulan pertama. Keguguran oleh infeksi L. harjo
atau L. Pomona umumnya terjadi 3-10 minggu setelah infeksi. Keguguran oleh infeksi
Leptospira seringkali disertai retensi fetal membrane yang dapat menyebabkan
gangguan fertilitas di kemudian hari. Di dalam organ Ginjal akan terjadi lesi
dalam bentuk kepucatan/kematian disebagian daerah (infark) merah atau putih
yang menyebabkan mottleing dibagian
kortek. Hati membengkak dengan di sana-sini terjadi kematian jaringan (necrosis).
SIMPTOMATOLOGI
Tergantung kepada
berat ringannya infeksi, demikian pula gejala yang ditampilkan bisa serius,
cukup berat atau ringan saja. Hewan yang kondisi fisik dan imunologiknya baik,
penderita dalam waktu singkat mampu membentuk zat antibody untuk melawan dan dapat
sembuh. Gejala yang sering terlihat pada penderita adalah hemolitik ikterus dan
hemoglobunuria. Gejala demikian terjadi 50% pada infeksi oleh L. pumona pada
sapi-sapi yang masih muda. Mortalitas penyakit ini antara 5-15%, sedangkan
morbiditasnya 75% (pada sapi tua) dan 100% pada sapi muda. Gejala lain pada
sapi muda adalah demam (40,5-41 C), tengkurap ditanah (lantai kandang),
anoreksia dan dispnoe. Gejala ikterus akan segera hilang tetapi gejala anemia
segera muncul, dalam 4-5 hari pertama jumlah butir darah merah (RBC) meningkat
dan kemudian 7-10 hari kembali normal. Pada kondisi meningkatnya demam terjadi
pula albuminuria. Pada penderita sapi juga terjadi leukositosis. Infeksi oleh
L. harjo jarang sekali memperlihatkan gejala ikterus, hemoglubinuria dan
anemia, sehingga lebih menyulitkan upaya menegakkan diagnosis.
Warna airsusu
penderita menjadi “tebal” (thick), kuning kadang bercak darah (blood tinged), tetapi produksi airsusu akan kembali normal setelah 10
hari kemudian.
Leptospirosis
pada kuda memperlihatkan gejala demam, suhu badan 39,5 – 40,5 C selama 2-3
hari, depresi, lesu dan loyo (dullness),
hilang nafsu makan, ikterus dan netrofilia. Bila kuda penderita sedang bunting,
keguguran dapat terjadi beberapa minggu setelah demam. Infeksi ringan tidak
memperlihatkan gejala.. Pada penderita kuda terdapat lesi-lesi pada mata.
Leptospirosis
pada manusia dapat memperlihatkan gejala demam, sakit kepala (headaches), bercak merah pada kulit (rash), nyeri otot (myalgia) dan perasaan sakit
atau tidak nyaman seluruh tubuh (malaise).
DIAGNOSIS
Diagnosis tidak
boleh hanya didasarkan kepada gejala dan tanda klinik saja, melainkan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Serologik memperlihatkan
peningkatan titer dalam serum penderita. Serum diambil dari hewan tersangka,
sekali ketika gejala akut dan sekali lagi ketika penyakit sudah berjalan 7-10
hari. Uji serologic dilakukan dengan cara Uji Aglutinasi Mikroskopik (microscopic agglutination test) atau
uji aglutinasi mikrotiter (microtiter
agglutination test). Uji lain dilakukan dengan Elisa dan uji fixasi
komplemen (complement fixation test).
Lebih baik lagi diikuti dengan uji biologic dengan menyuntikkan 0,5 ml darah
penderita (diambil secara aseptic) kepada hewan percobaan atau media
laboratorium lainnya. Urine (yang baru dikoleksi) dari hewan tersangka yang
telah disentrifuse dapat diperiksa dibawah mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). Karena leptospira
dikeluarkan hewan penderita secara intermiten, maka bila pemeriksaan pertama
negative, harus dilakukan lagi pemeriksaan ulang.
Pemeriksaan
patologik dilakukan dengan melakukan seksi jaringan ginjal dan atau hati yang
diwarnai dengan Levaditi (silver
impregnation method of Levaditi) atau teknik Warthin Starry.
Leptospirosis
pada kuda, salah satu gejalanya adalah adanya radang konjuktiva (conjunctivitis) dan uveitis. Dari ekskresi mata dapat diisolasi bakteri leptospira
nya.
Pada penderita babi
memperlihatkan gejal demam, ikterus, hilang nafsu makan, gangguan alat
pencernakan. Kadang ada gejala syaraf seperti terjadinya kekakuan karena radang
otak (meningitis with rigidity), spasmus dan berputar-putar, perdarahan dan
kemudian mati.
PENGOBATAN
Kalau wabah
Leptospirosis timbul dalam peternakan kelompok kecil, maka penyebaran penyakit
juga terbatas. Bila Leptospirosis menyerang peternakan kelompok besar secara
endemic, maka dilakukan tindakan imunisasi yang dikombinasi dengan kemoterapi.
Pemberian antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, oksitetrasiklin, bila dapat
dilakukan pada awal penyakit akan banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin
dengan dosis 10 mg/kg berat badan selama 5 hari pada ternak babi penderita
leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan 86% (Marshal). Pemberian per-oral
oksitetrasiklin 500-1000 gram kepada setiap ton makanan ternak dan diberikan
selama 14 hari berturut-turut dapat menghilangkan keadaan sebagai pembawa bibit
penyakit (carrier state) pada ternak
babi 94% (Baker).
Anjing penderita
L. canicola sangat efektif diobati dengan penisilin, tetapi tidak bila oleh L
ichterohemorrhagica. Pemberian antibiotika itu akan sangat mengurangi
leptospira yang berada didalam ginjal dan jaringan-jaringan lainnya sehingga
akan memberikan kondisi yang konduktif bagi vaksinasi yang akan dilakukan.
Ternak sapi yang
sedang produktif, hanya sapi yang menderita saja yang diberi antibiotika,
karena antibiotika akan merupakan bahan tinggalan (residu) didalam air-susu. Karena itu sebelum waktu hilangnya
residu antibiotika, produksi air-susunya tidak boleh dikonsumsi. Hewan yang
telah menjadi pembawa penyakit (life
carrier) sulit diobati lagi. Bila terjadi anaemia yang kritis, transfuse
darah perlu diberikan.
PENCEGAHAN
Hewan penderita
harus diisolasi dan jauh dari sumber penularan, seperti daerah tergenang air,
karena Leptospira menyukai hidup dipermukaan air. Karena tikus-tikus senang
bersarang dislokan-slokan, padahal tikus salah satu hewan pembawa bacteria ini,
oleh karena itu upayakan agar slokan-slokan tidak menjadi sarang tikus dan
diupayakan juga agar air mengalir lancar sedemikian rupa sehingga selokan
selalu kering, jangan dibiarkan air menggenang didalamnya.
Seyogyanya ternak
dikandangkan dalam wilayah yang terpagar, sehingga keluarannya tidak akan
mencemari sumber bahan makanan dan minuman ternak lainnya atau keperluan
manusia. Daerah tertular juga harus dibebaskan dari tikus-tikus dan satwa liar
lainnya karena bakteri ini dapat disebarkan secara mekanik atau fisik dari
hewan pembawa ini (wildlife carrier).
Vaksin
Anti-leptospirosis pada hewan (anjing) telah lama ditemukan dan dipakai dalam
praktek khususnya hewan kecil (anjing). Vaksin ini dari tahun ketahun selalu
disempurnakan sesuai dengan teknologi baru. Vaksin Leptospira adalah vaksin
inaktif dalam bentuk cair (bacterins)
sekaligus bertindak sebagai solvent
bila vaksin Ini dikombinasi dengan vaksin lain. Untuk anjing vaksin
Leptospirosis umumnya dikombinasi dengan anti-distemper, adenovirus dan rabies.
Anti Leptospirosisnya sendiri terdiri dari dua serovar, umumnya L. canicola dan
L. ichterohemorhagica.
Pencegahan
Leptospirosis pada ternak sapi (terutama sapi perah) harus didasarkan kepada
vaksibasi tahunan serta diiringi dengan sanitasi dan hygiene lingkungan, antara
lain dengan cara pembrantasan tikus seperti telah diutarakan sebelumnya.
Pemberian bakterins Leptospirosis akan melindungi sapi-sapi yang sedang bunting
dari keguguran dan kematian dan dengan nyata dapat mengurangi masuknya bakteri
kedalam Ginjal.
Tempat-tempat
sumber air (yang mengalir) agar dipagari agar hewan tidak mencemari sumber air
tsb dengan kotoran dan urinenya. Pisahkan ternak sapi dengan ternak babi dan
cegah hewan liar (wildlife). Lakukan
vaksinasi terhadap ternak-ternak yang baru datang, ternak pengganti (replacement stocks).
Bakterin
Leptospira untuk kuda belum dikembangkan, mungkin karenna faktor ekonomi,
antara biaya produksi dan jumlah dosis pemakainya tidak imbang.
Pada ternak babi
(rakyat) yang dipelihara berkelompok, umumnya terjadi karena babi kontak langsung
dengan urine dari babi yang menderita atau dari satwa liar yang berseliweran di
lingkungannya.
KESEHATAN MASYARAKAT
Manusia rawan
oleh infeksi dari semua serovars Leptospira patogenik asal hewan ternak maupun
hewan piara. Infeksi oleh Leptospira pada manusia umumnya disebabkan karena
kontak dengan air yang tercemar oleh bakteri ini. Seperti pada hewan, gejala
Leptospirosis pada manusia dapat berat, moderat dan ringan, tergantung kepada
benyak sedikitnya bakteri pathogen yang masuk kedalam tubuh. Apabila bakteri
Leptospirosis sampai masuk ke Organ Ginjal dapat menyebabkan gagal fungsi
Ginjal, akibatnya sangat fatal. Para penyayang/pemelihara hewan anjing agar
memintakan vaksinasi terhadap penyakit ini kepada Dokter Hewan praktek.
Karyawan rumah
potong hewan, kebun binatang, peternak dan karyawannya agar waspada akan
pencemaran urine, lakukan tindakan vaksinasi dan kebersihan lingkungan,
sanitasi dan higiene lingkungan, juga rumah tangga pemelihara hewan kesayangan.
Tikus ternyata merupakan hewan utama sebagai pembawa sekaligus penyebar bakteri
ini. Kencing tikus yang terbawa air slokan, kali banjir dsb merupakan sumber
penularan. Orang yang tinggal didaerah-daerah banjir seringkali tertular
bakteri ini. Babi yang terinfeksi Leptospira dan mampu bertahan dari infeksi
akut dapat mengekskresi Leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama,
dapat sampai setahun. Babi pembawa bakteri ini potensial penyebar penyakit,
sehingga dahula penyakit ini pernah disebut “swineherd’s disease”.
Dalam alam,
pembawa bakteri ini yang utama adalah hewan pengerat (rodentia), terutama tikus. Peternakan babi yang jorok dan anjing
liar merupakan pembawa bakteri yang potensial (life carriers).
Infeksi
Leptospira dapat terjadi pula per-inhalasio (lewat pernafasan), atau kontak langsung
dengan kulit orang-orang yang pekerjaannya dekat dengan hewan dan tidak
melakukan sanitasi dan hygiene. Anak-anak penggembala ternak yang mandi dikali
bersama ternaknya, adalah potensial ketularan penyakit ini. Jembangan-jembangan
untuk mandi atau menyimpan air minum harus ditutup mencegah tercemarnya bakteri
ini.
Hewan penderita
Leptospirosis dilarang dipotong
untuk konsumsi. Masyarakat hendaknya membeli daging dikios-kios daging yang
mempunyai izin, bersih lingkungan
sanitasi dan higienis. Pilih daging asal pemotongan yang legal dari Rumah
Potong Hewan legal dan ada stempel pemeriksaan daging (meat hygiene).
PERATURAN & PERUNDANGAN
Haruslah ada
peraturan yang melindungi karyawan yang bekerja dilingkungan yang intensif
berhubungan dengan hewan, misalnya karyawan rumah sakit hewan, rumah pemotongan
hewan, kebun binatang, kennel (breeder hewan), tempat penitipan hewan,
peternakan sapi, kambing, kuda, babi, dll. Mereka wajib mengenakan masker,
sarung tangan, pakaian kerja yang licin (kotoran sukar menempel), sepatu
panjang (boot) terbuat dari karet
untuk menghindari kontaminasi oleh kotoran dan keluaran hewan lainnya.
Sebenarnya kelengkapan kerja seperti ini bukan hanya untuk melindungi diri dari
penyakit ini saja tetapi terhadap penyakit pada umumnya.
Hewan potong
harus diistirahatkan dahulu, kemudian diperiksa dengan teliti, apalagi kalau
hewan berasal dari daerah endemic Leptospirosis. Apabila menderita
Leptospirosis positif, hewan dilarang untuk konsumsi.
REFERENSI
Anonim : Merck’s Veterinary Manual, 7th Ed. (1991)
………………. :
Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular, Dir KesWan, Dirj Peternakan,
KemTan (1985)
Budi
Tri Akoso : Kesehatan Sapi, Penerbit Kanisius, Jogya
(1996)
Dharmojono : 15 Penyakit Binatan menular ke manusia, Melinia, 2001
Ressang,
AA : Patologi Khusus Veteriner Ed-II, 1984
Seddon,
HR : Bacterial Disease Part 5, Vol.II, Dept of Health, Australia (1965)
Subronto : Ilmu Penyakit Ternak I, UGM Jogya, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar