R A B I E S
(PENYAKIT ANJING GILA)
Oleh: Drh. S Dharmojono
PENDAHULUAN
Rabies
(Penyakit Anjing gila) dikenal juga sebagai penyakit Lyssa, Tollwut, Rage atau
Hydrophobia.
Yang disebut terakhir berdasarkan gejala panderita yang “takut akan
air”.Penyakit ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu baik pada manusia
maupun pada hewan peliharaan dan satwa liar. Rabies tersebar hampir diseluruh
dunia, kecuali Australia, Selandia Baru, Hawai, Inggris dan beberapa Negara
Europa. Daerah Indonesia sebagian terbesar telah tercemar Rabies termasuk
Propinsi Bali, Kalimantan Barat, NTT yang dulu bebas Rabies. Propinsi yang
bebas Rabies tinggal Irian Barat (Papua) dan Jakarta (dinyatakan bebas Rabies
sejak 1999).
SELLER
menyatakan Rabies adalah “the physician
‘s dilemma” (suatu pilihan sulit bagi dokter), sedangkan Prof. DR Drh RESSANG (1959) menyebut
Rabies sebagai : “….Rabies …..the
incurable Indonesian wounds” (Anjing gila …..luka yang tak tersembuhkan
…..).
SEJARAH RABIES DI INDONESIA
Di
Indonesia, Rabies pada hewan telah ditemukan sejak 1889 pada seekor Kerbau di
Bekasi. Pada manusia Rabies pertama kali dilaporkan pada 1894 oleh E.V. De
Haan. Korbannya selalu berakhir dengan kematian, atau dapat dikatakan kasus Rabies
selalu berakhir dengan kematian, (case
fatality rate) adalah 100%.
PENYEBAB PENYAKIT
Hal
tsb (case fatality rate) dapat
dimengerti karena Rabies adalah Penyakit
infeksi akut yang disebabkan oleh VIRUS
yang menyerang Susunan Syaraf Pusat bersifat menular dari hewan kepada manusia (zoonosis) . Virus Rabies termasuk
keluarga Rhabdovirus genus Lyssavirus, bentuknya menyerupai peluru
berukuran 180 um diameter 75 um. Pada permukaannya kelihatan bentuk paku (spikes) yang panjangnya sekitar 9 um.
Virus Rabies peka terhadap panas, telah mati pada suhu 50 C selama 15 menit.
Virus Rabies tersusun dari protein (67%), lemak (26%), RNA (Ribonucleic acid, 4%) dan karbohidrat (3%).
Virus
Rabies mempunyai 2-macam antigen, yaitu glyco-protein
dan antigen nucleoprotein. Sinar
matahari dan ultra violet akan mematikan virus Rabies. Virus Rabies juga
berselubung lemak yang mudah dilarutkan oleh deterjen.
Virus Rabies (Foto dari Drh C. Koesharyono)
Virus Rabies (Foto dari Drh C. Koesharyono)
PENJALARAN PENYAKIT
Didalam
tubuh penderita, virus Rabies dengan cepat menyebar terutama kedalam Susunan
Syaraf Pusat dan Kelenjar saliva (air liur), sedangkan organ-organ lainnya,
kulit, kelenjar keringat, kornea mata, kelenjar adrenal, rectum, usus, ginjal,
kandung kemih, pancreas dan limpa dapat terlibat pula.
Didalam
air-susu, urine dan getah bening (lymphe)
dapat pula ditemukan virus Rabies, meskipun jumlahnya sedikit saja. Virus
Rabies terutama masuk kedalam tubuh penderita melalui luka-luka
dikulit
karena gigitan hewan penderita, tetapi penularan virus Rabies dapat pula lewat
jalur pernafasan (inhalasio) atau lewat saluran pencernakan karena makan bahan
yang tercemar (peroral). Virus Rabies juga dapat terbawa angin dan masuk melalui
kornea mata.
SIMPTOMATOLOGI
Semua
hewan berdarah panas rentan terhadap
infeksi virus Rabies, meskipun derajad ke-pekaannya bervariasi. Didaerah
tropik, perantara utama (vector)
Rabies adalah karnivora (hewan pemakan daging) seperti: anjing, kucing, kera,
rubah, anjing hutan (srigala), skunk, mongoose, dll. Di Indonesia vector
utamanya adalah anjing gelandangan dan liar. Di Amerika Tengah dan Selatan
dikenal kelelawar (vampire) sebagai vector. Prof. Ressang (1960), ketika itu
penulis masih sebagai mahasiswanya, meneliti Kalong Kebun Raya Bogor, ternyata
mereka tidak membawa virus Rabies. Umumnya manusia dan sapi sebagai induk
semang terakhir, artinya manusia dan sapi tidak meneruskan penyebaran virus
Rabies..
Penderita
(Hewan) memperlihatkan perilaku yang tidak biasanya, misalnya: ada perubahan
temperamen, menyukai tempat dingin dan gelap, menggigit atau menyerang apa saja
terutama yang bergerak, termasuk benda apapun yang dijumpai disekitarnya,
seperti kandangnya, tempat makannya, batu, plastik, tali, rantai, dsb, hal ini
berdasarkan temuan ketika dilakukan otopsi korban Rabies. Benda-benda “aneh”
seperti itu seringkali ditemukan didalam alat pencer-nakannya.
BENTUK
PENYAKIT RABIES
Diketahui
ada 3 bentuk Rabies pada Hewan, sbb
1. Bentuk Ganas (agresif)
1. Bentuk Ganas (agresif)
Bentuk
ini dikenal pula sebagai Furious Rabies.
Bentuk ini paling berbahaya dan tahap rangsangnya (stadium eksitasinya) panjang
(lama). Didalam air liur penderita ditemukan sangat banyak virus Rabies dengan
kepekatan (konsentrasi) yang tinggi, itulah sebabnya gigitan hewan penderita
seperti ini sangat berbahaya karena kemungkinan besar sekali virus masuk ketubuh
lewat luka gigitan tsb. Bentuk ganas ini melalui tahap sbb:
1.1.
Tahap awal (prodromal), atau melankholik.
Pada tahap ini kejiwaan penderita (psikis) mulai tidak normal. Penderita menjadi pendiam, padahal biasanya lincah dan gembira. Bersembunyi ditempat dingin dan sunyi. Tetapi setelah itu penderita menjadi gelisah, berjalan dan berlari kebingungan tanpa arah. Seperti ada tanggapan sensorik (halusinasi), yaitu berbuat sesuatu yang tidak ada, bila dikejutkan gampang marah dan menggigit. Sensitifitasnya meningkat, misalnya ada suara atau cahaya memicu rangsangan menjadikan kejang, sesak nafas, dsb. Pupil mata melebar, menjilat-jilat, mengerat benda-benda disekitarnya, hilang nafsu makan, malah benda asing yang dimakannya, kesulitan menelan kemudian hipersalivasio, sulit defikasi dan urinasi, tetapi aneh kadang nafsu seksualnya meningkat
Pada tahap ini kejiwaan penderita (psikis) mulai tidak normal. Penderita menjadi pendiam, padahal biasanya lincah dan gembira. Bersembunyi ditempat dingin dan sunyi. Tetapi setelah itu penderita menjadi gelisah, berjalan dan berlari kebingungan tanpa arah. Seperti ada tanggapan sensorik (halusinasi), yaitu berbuat sesuatu yang tidak ada, bila dikejutkan gampang marah dan menggigit. Sensitifitasnya meningkat, misalnya ada suara atau cahaya memicu rangsangan menjadikan kejang, sesak nafas, dsb. Pupil mata melebar, menjilat-jilat, mengerat benda-benda disekitarnya, hilang nafsu makan, malah benda asing yang dimakannya, kesulitan menelan kemudian hipersalivasio, sulit defikasi dan urinasi, tetapi aneh kadang nafsu seksualnya meningkat
1.2.
Tahap kelumpuhan (paralisis)
Kaki belakang, rahang bawah sehingga tidak dapat menutup mulutnya, lidah menjulur dan hipersalivasio. Kelumpuhan menjalar kemembrana niktitan, sehingga penderita menjadi juling. Kelumpuhan kemudian menjalar kealat pernafasan, menjadi apatis dan kemudian mati.
Kaki belakang, rahang bawah sehingga tidak dapat menutup mulutnya, lidah menjulur dan hipersalivasio. Kelumpuhan menjalar kemembrana niktitan, sehingga penderita menjadi juling. Kelumpuhan kemudian menjalar kealat pernafasan, menjadi apatis dan kemudian mati.
2.
Bentuk Jinak (Dump Rabies)
Bentuk
ini agak sulit dikenali, karena tidak memperlihatkan keganasan. Baru pada
stadium yang lebih lanjutannya diketahui penderita menjadi lumpuh kedua kaki
belakang dan rahang ba-wahnya.
3.
Bentuk Atipik
Alias
tidak berbentuk, karena penderita sama sekali tidak menunjukkan gejala dan
tanda, hanya mungkin penderita suka diam dan bersembunyi saja, tetapi bila akan
dipegang/ditangkap akan menggigit. Inilah sebabnya para praktisi perlu
diingatkan kala akan menangani hewan (terutama anjing, kucing, kera) berhati-hatilah
dan waspada ! Tanyakan kepada pemiliknya apakah hewannya “nakal” atau tidak.
DIAGNOSIS
Anamnesis, yaitu mengorek informasi dengan cara wawancara yang teliti, meliputi: riwayat pasien, menggigit atau digigit hewan lainnya ?. Teliti adakah luka-luka dan perhatikan bentuk lukanya, karena luka gigitan hewan dapat tunggal atau jamak (multiple), sempit tetapi dalam, atau luka tersobek karena ketika digigit korban melawan atau menghindar dan tercakar. Diagnosis klinik harus diikuti dengan pemeriksaan laboratorium,
1. Pemeriksaan mikroskopis, tentu saja karena penderita setelah mati dan dapat diambil hipokampusnya dan dibuat preparat sentuh dengan pewarnaan Seller . Arah pemeriksaan mikroskopis kepada pencarian badan Negri (Negri body). Pemeriksaan cara Seller ini cepat, hanya memakan waktu 5-10 menit dengan kekhasan (spesifisitas) hampir 100%, hanya saja kepekaannya (sensitifitas)nya rendah, kesalahan mencapai 30%. Kelebihan pemeriksaan ini adalah cepat, perlengkapan sederhana, hanya memerlukan mikroskop biasa, objek gelas dan zat warna Seller (Fuchsin dasar biru metilen dan metal alcohol)
2.
Uji antibody Fluoresen (FAT,
Fluorecent Antibody Test). Uji ini cukup akurat karena kepekaannya
(sensitifitas) nya dan kekhasan (spesifikasi)nya tinggi mendekati 100%. Waktu
yang diperlukan sekitar 2 jam dan harus dilakukan oleh laboratorium yang
lumayan canggih, karena memerlukan mikroskop FAT, tersedia bahan paduan
(konjungate) Rabies yang harganya cukup mahal serta sumber daya manusia yang
handal. Prinsip pemeriksaan ini adalah mendeteksi adanya antigen yang terdapat
dalam serum penderita.
3. Uji
Biologik, sebagai
kelanjutan pemeriksaan mikroskopik dan FAT, yaitu bila hasil pemeriksaan cara
terdahulu itu negatif. Pemeriksaan biologik memerlukan waktu lama antara 4-21 hari,
karena pemeriksaan biologik ini memerlukan 5 ekor hewan percobaan tikus putih (Swiss mice) yang berumur 3-4 minggu.
Hewan percobaan ini (tikus putih) dapat diganti dengan kultur jaringan (neuroblastoma) yang hasilnya akan lebih
cepat diketahui
Drh C. Kusharyono sedang mengambil sample dari hypocampus |
Virus
Rabies menyerang Susunan Syaraf Pusat, jadi memerlukan pertimbangan kemungkinan
penyakit syaraf lainnya, seperti: radang otak (ensefalitis), lysteriasis (lysteria mono cytogenes). Jangan pula
lupa dengan penyakit Aujeszky. Berikut kriteria pembedaan
Rabies dengan Aujeszky,
Rabies Aujeszky
Ada riwayat gigitan tidak ada riwayat gigitan
Ada stadium prodromorum tidak ada stadium prodromorum
Ada agresifitas tidak
agresif
Sedikit/tidak ada gatal-gatal ada
gatal hebat
Berperilaku aneh perilaku tidak berubah
Cenderung makan benda asing tidak makan
pakaian
praktikum dari plastic dan sepatu boot. Hewan piaraan/kesayangan terutama
anjing, kucing dan primate hendaknya dimintakan vaksinasi anti-rabies setiap
tahunnya dari Dokter Hewan Praktek dan mintalah sertifikat vaksinasinya (Dokter
Hewan yang melakukan vaksinasi pasti akan memberikan sertifikat vaksinasi).
Pastikan dalam sertifikat vaksinasi itu ditulis identitas hewannya, nama dan
alamat sipemilik
PENGOBATAN
Seperti
halnya penyakit infeksi oleh virus lainnya, maka obat untuk menanggulangi virus
Rabies juga tidak ada, yang ada adalah upaya pencegahan
PENCEGAHAN
Virus Rabies dapat dimatikan dengan bahan-bahan pemati-hama (desinfektansia) seperti phenol, eter, chloroform, formaldehida dan basa ammonium. Ada klasifikasi upaya pencegahan Rabies sbb:
1. Sebelum kontak dengan hewan tersangka (pre exposure).
Seyogyanya orang yang bekerja dekat
dengan hewan seperti : Dokter Hewan Praktisi, Paramedikus, Karyawan Rumah Sakit
Hewan, Kennel, Pembudidaya hewan (cattery,
dogery, dll), laboran dengan material tersangka Rabies, Kebun Binatang,
Rumah Pemotongan Hewan, Pelatih hewan, petugas razia hewan liar, dan jangan
lupa pemilik/penyayang hewan piara. Golongan disebut diatas adalah golongan
beresiko tinggi, seyogyanya mereka divaksinasi terhadap Rabies. Vaksinasi
terhadap Rabies dilakukan: dengan Purified Vero Anti Rabies Vaccine (PVRV)
cukup dengan dosis 0,5 ml diberikan 2 kali. Atau dengan Human Diploid Cell Vaccine (HDCV)
dengan dosis 1 ml diberikan 2 kali pada hari ke-0 dan ke-28, suntikan
intramuskuler atau subkutan di lengan bagian atas
Bagi mereka yang telah mendapatkan
vaksinasi pre-exposure, tetapi kurang
dari 12 bulan mengalami gigitan hewan tersangka, maka vaksinasi perlu diulang
dengan 2 kali dosis pada hari ke-0 dan hari ke-28. Bila gigitan terjadi setelah
lebih dari 12 bulan dari vaksinasi pre-exposure,
maka perlu mendapatkan vaksinasi ulang (booster
vaccination) menurut jadwal 2-1-1 (metoda Zagreb), sebagaimana halnya vaksinasi post-exposure
Golongan orang yang bekerja dilingkungan
resiko tinggi seperti telah disebutkan terdahulu, dalam bekerja diharuskan
mengenakan masker (penutup hidung dan mulut), sarung tangan, dan ditempelkan label
vaksin apa yang diberikan, tanggal vaksinasi dilakukan, kemudian tanda tangan dan stempel Dokter Hewan
yang memberikan vaksinasi tsb. Seringkali ditemukan “sertifikat vaksinasi”
tanpa identitas hewannya dan tanda tangan, nama dan stempel Dokter Hewan.
Banyak klien mengira kalau disuntik Dokter Hewan mengira suntikan tsb adalah
vaksinasi. Vaksinasi anti-rabies pada hewan (anjing, kucing, kera) di Indonesia
sudah lama dilakukan dengan vaksin anti-accine (PVRV) dan Human Diploid Cell
Vaccine (HDCV), seperti telah disinggung terdahulu.
Sebelum ada vaksin anti-rabies (a) dan
(b) tsb, vaksin dibuat dari otak monyet (monkey brain vaccine), kecuali
disuntikkan lebih banyak (dosis 2 ml diberikan sampai 14-21 kali) juga
seringkali menibulkan efek samping yang buruk berupa radang (selaput) otak,
sehingga orang takut menerima vaksin tsb. Dengan vaksin anti-rabies (a) dan (b)
dengan dosis 0,5-1 ml yang diberikan 5 kali untuk rawatan post-exposure atau
cukup 2 kali untuk pencegahan. Vaksin tipe ini hamper tidak menimbulkan efek
samping buruk sama sekali.
Vaksinasi terhadap Rabies untuk manusia
1.
Sudah kontak dengan tersangka (post exposure treatment)
Korban gigitan akan dievaluasi lukanya,
apakah luka jamak (multiple wounds), luka ringan, hanya goresan, luka dalam
atau dangkal, lokasi luka (makin dekat otak/kepala makin berbahaya) dsb sebagai
bahan evaluasi luka.
Kemudian Dokter yang merawat akan
menentukan apakah korban akan diberi serum, yaitu tindakan memberikan antibody netralisasi yang tinggi dalam
waktu singkat atau tindakan dengan memberikan serum dan vaksin sekaligus
(sero-vaksinasi), yaitu memberikan antibody netralisasi pasif dan aktif
sekaligus dengan maksud memberikan kekebalan yang tahan lama dengan dosis
seperti telah diutarakan terdahulu.
Pada waktu ini telah ada 2 macam serum
anti-rabies sbb:
a.
Serum
anti-rabies yang dibuat dari serum kuda yang telah divaksinasi terhadap rabies
sebelumnya. Karena serum ini berasal dari lain spesies, maka disebut serum heterolog, karena berasal dari kuda maka
disebut pula Equine Rabies Immunoglobine
(ERIg). Dosis yang direkomendasikan menurut pembuatnya, yaitu untuk
produksi Perum Bio Farma 0,5 ml/kg berat badan, untuk serum produksi Iffa
Merieux dosis 0,2 ml/kg berat badan. Dengan menggunakan serum heterolog tentu
saja ada resiko efek samping, oleh karena itu perlulah dilakukan terlebih
dahulu uji-kulit (skin test). Bila
dari uji-kulit tersebut didapatkan infiltrate >1 cm, maka serum heterolog
jangan dipakai.
b.
Serum
Homolog, yaitu serum yang berasal
dari serum manusia yang diambil dari donor yang disebut pula Human Rabies Immunoglobine (HRIg). Dengan HRIg
tidak diperlukan uji-kulit dahulu dan dosisnya lebih kecil yaitu 0,1ml/kg berat
badan dan disuntikan disekitar luka (gigitan)
Menurut penelitian Vodopija dan Sureau
(1986), vaksinasi dengan PVRV untuk post-exposure bahkan dapat dipendekkan
menjadi 4 kali suntikan saja yaitu pada hari ke-0 2 kali dosis disuntikkan
ditempat berbeda, kemudian dosis berikutnya pada hari ke-7 dan dosis berikutnya
lagi pada hari ke-21. Metode demikian disebut metode Zagreb atau metode 2-1-1. Dengan metode Zagreb ini pada hari ke-21,
antibody netralisasi yang ditimbulkan
dapat mencapai 0,4 – 270,3 IU/ml, jauh
melebihi syarat minimal yang ditentukan yaitu 0,5 IU/ml dengan metode RFFIT
ASPEK
KESEHATAN MASYARAKAT
Anjing, kucing dan kera adalah hewan yang telah lama menjadi hewan piaraan/kesayangan orang, maka ketiga spesies hewan tsb paling umum sebagai penyebar virus Rabies. Kasus gigitan hewan penyebar Rabies terjadi sbb: oleh anjing (90%), kucing (6%), kera (3%) dan hewan lainnya (1%). Dalam suatu survey, lokasi/daerah gigitan oleh hewan tersangka sbb: daerah kepala (5,44%), tubuh (9,1%), tangan (25,72%), kaki (59,72%). Sedangkan korban gigitan menurut jenis kelamin adalah laki (59,7%) dan perempuan (40,3%). Dari aspek umurnnya mereka adalah <15 th, yang terakhir ini barangkali disebabkan karena anak-anak seusia itu baru aktif dan “nakal”.
Apa
yang harus dilakukan bila seseorang digigit, dicakar, kontak dengan hewan
(terutama anjing, kucing, kera) yang dicurigai mengidap Rabies ?
1. Terhadap orang korban gigitan
a.
Cuci
segera luka gigitan dibawah air mengalir dengan sabun atau deterjen selama 5-10
menit. Tindakan ini dimaksudkan untuk mematikan virus yang ada diluar luka,
paling tidak akan sangat mengurangi jumlah virus yang mungkin masuk kedalam
luka.
b.
Oleskan
pada luka bahan antiseptika, misalnya: alcohol 70%, obat merah, merkurikrom,
jodium tinktur 5-7% atau betadin. Luka gigitan tidak perlu dijahit.
c. Konsultasikan ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau rumah sakit terdekat agar luka dievaluasi lebih lanjut dan diambil tindakan pengobatan seperlunya misalnya dengan memberikan antibiotika, antitetanus toksoid, untuk mengcegah infeksi sekunder oleh mikroorganisme lainnya.
(Note : untuk wilayah DKI Jakarta, korban (manusia) gigitan hewan (anjing, kucing, kera), setelah diberikan perawatan pendahuluan seperti tsb diatas, hendaknya segera dibawa ke:
a. Rumah Sakit Infeksi “Prof. Dr Sulianti
Sarosa”, JL. Sunter Baru Permai Raya, Jakarta Utara, atau
b.
RSUD
“Tarakan”, Jl. Tarakan, Jakarta Pusat)
2.
Terhadap
Hewan (anjing, kucing, kera) yang menggigit atau digigit,
a.
Upayakan
dapat ditangkap (hati-hati) dan jangan dibunuh
b. Laporkan kejadian tsb kepada pejabat
setempat (RT, RW, Kelurahan, dst) dan atau Dinas Peternakan/Kesehatan Hewan
setempat agar hewan tsb diobservasi selama 10-14 hari menurut prosedur yang
berlaku. Dalam rumah observasi ini hewan akan dipelihara biasa saja (diberi
makan, minum, dsb) tidak diberi pengobatan apapun karena tujuannya untuk
diobservasi. Observasi hewan tersangka ini hanya dilakukan oleh Dokter Hewan
yang berwenang, tidak boleh oleh setiap Dokter Hewan meskipun Dokter Hewan tsb
memiliki izin praktek sekalipun.
(Note: untuk wilayah DKI Jakarta, Rumah Observasi Rabies berada
di Jl. Harsono RM No. 10, Ragunan, Jakarta Selatan)
ASPEK PERATURAN & PERUNDANGAN
Rabies, yang telah lebih seabad berada di Indonesia adalah Penyakit Zoonosis yang paling menggelisahkan dan ditakuti masyarakat, termasuk Dokter Hewan sekalipun !. Akibatnya fatal, karena itu mencemaskan masyarakat. Penyebaran Rabies justru meluas. Propinsi Bali, NTT yang dahulu bebas Rabies, saat ini sudah tercemar. Berkenaan dengan itulah, dalam rangka menunjang operasional penanggulangan Rabies, telah banyak dibuat Peraturan dan Perundangan, bahkan sudah sejak zaman kolonial, antara lain:
1. Staatblad 1912 No. 432 dan 435
2. Staatblad
1926 No. 451 dan 452 yang dikenal sebagai Hondsdolheids Ordonantie
3.
UU
Pokok Kesehatan No. 9/1960
4. Surat Keputusan Bersama 3-Menteri
No.
279A/MenKes/SK/VIII/1978
No.
522/Kpts/Um/8/78
No.
143/1978
5. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
363/1982, tentang pedoman khusus Pencegahan dan Pemberantasan Rabies.
6. UU Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
No. 18/2009
Dalam
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 363/1982, tentang pedoman khusus
Pencegahan & Pemberantasan Rabies, disebutkan sbb:
a. Pengawasan lalu lintas hewan dengan
ketat diwilayah yang bebas Rabies
b.
Pencegahan
& Pemberantasan Rabies didaerah tertular satu persatu dengan prioritas
daerah di Jawa dan Kalimantan
c.
Menjalin
dan meningkatkan kerja-sama antar institusi bahkan dengan luar negeri, terutama
Negara tetangga
d.
Koordinasi
pelaksanaan yang kuat dari tingkat atas sampai dengan tingkat bawah
e.
Menyediakan
vaksin anti-rabies yang cukup jumlahnya dan tinggi mutunya
f. Meningkatkan
kemampuan laboratorium sampai ketingkat wilayah untuk me-lakukan diagnosis
dengan cepat
g. Mengikut sertakan peran masyarakat.
Badan Koordinasi penanggulangan Rabies sebenarnya telah lama dibentuk pada tahun 1978 dengan anggota Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri. Badan ini ada ditingkat atas sampai tingkat bawah.
Pengendalian Rabies di lapangan pada pokoknya terdiri dari :
1. Melakukan vaksinasi massal dengan target dapat divaksinasi 70% dari jumlah populasi anjing
2.
Eliminasi
anjing yang tak bertuan dan gelandangan
3. Prosedur karantina yang ketat
Rabies juga mungkin ditularkan oleh hewan/satwa liar. Oleh karena itu di luar negeri, sebagai contoh yang mungkin dapat dilaksanakan di Indonesia diambil missal: di Texas (USA) ada program yang disebut The Texas Oral Rabies Vaccination Programme (ORVP) 1999-2000 , untuk menciptakan wilayah bebas Rabies di tempat sebangsa ras anjing lokal yaitu coyote dan gray fox, sebanyak-banyaknya dapat divaksinasi dengan vaksin Rabies peroral. Program tsb dilaksanakan terpadu oleh banyak organisasi baik pemerintah maupun swasta.
Program tsb dilaksanakan sbb:
Sebanyak
2,5 juta dosis vaksin individual ditargetkan untuk wilayah seluas 40.000 mil persegi setiap tahunnya. Satu
sachet plastic berisi 2 ml vaksin anti-rabies dicampurkan ke dalam komposit
tepung ikan yang disukai coyote dan gray fox tadi. Diharapkan hewan target
mengoyak sachet berisi vaksin plus tepung ikan tsb dan dimakanlah vaksin tsb. Vaksin
anti-rabies yang dipakai dalam program ini adalah buatan Raboral V-RG produksi
Merial Ltd, Athens, Georgia.
DAFTAR
REFERENSI
Anonim : Merck’s Veterinary Manual, 7th Ed. Merck’s & Co, Inc, 1991
:
Pencegahan & Pembrantasan Rabies,
Dir. Keswan, Dirjen Peternakan, Depten 1982
:
Symposium Nasional Rabies, Kumpulan
Makalah PDHI Cab. Bali, 1984
……………
: Pedoman
Pengendalian Penyakit Menular, Dir Keswan, Dirjen Peternakan, Deptan 1985
………….. :
Petunjuk khusus cara Pencegahan, Pembrantasan
dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular,
Dir Keswan,Dirjen Peternakan, DepTan, 1986
………….. :
Proceeding Seminar Rabies, Zoonosa &
Anthrax, FAPET UNDIP-PDHI, 1991
Dharmojono : 15 Penyakit
Menular dari Binatang ke Manusia, Milenia Populer, 2001
Dharmojono, Kusharyono C, Oni Saaroni: Rabies pada Hewan dan Manusia, Seminar PDHI Jabar, Bandung, 1994
Kusharyono, C, Sitti Ganefa : Penanganan
Rabies pada hewan dan manusia di Indonesia, Kursus Dokter Hewan Praktek, Jakarta,
1993
………………
: Rabies control and the future
prospects in Indonesia, FAVA 9th Congress, Yokohama Jepang 1995
Mudijono,
GM Susanto, ERJ Siregar,SB: Evaluasi
hasil vaksinasi anti-rabies pada anjing, Temu Ilmiah Nasional Veteriner, Bogor,
1996
Ressang, AA :
Penyakit Viral pada Hewan, UI-Press,
1988
WHO : Guidelines for dog rabies control, Geneva, 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar