Kamis, 22 September 2016

ZOONOSIS

R A B I E S
(PENYAKIT ANJING GILA)

Oleh: Drh. S Dharmojono


PENDAHULUAN

Rabies (Penyakit Anjing gila) dikenal juga sebagai penyakit Lyssa, Tollwut, Rage atau Hydrophobia. Yang disebut terakhir berdasarkan gejala panderita yang “takut akan air”.Penyakit ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu baik pada manusia maupun pada hewan peliharaan dan satwa liar. Rabies tersebar hampir diseluruh dunia, kecuali Australia, Selandia Baru, Hawai, Inggris dan beberapa Negara Europa. Daerah Indonesia sebagian terbesar telah tercemar Rabies termasuk Propinsi Bali, Kalimantan Barat, NTT yang dulu bebas Rabies. Propinsi yang bebas Rabies tinggal Irian Barat (Papua) dan Jakarta (dinyatakan bebas Rabies sejak 1999).
SELLER menyatakan Rabies adalah “the physician ‘s dilemma” (suatu pilihan sulit bagi dokter), sedangkan Prof. DR Drh RESSANG (1959) menyebut Rabies sebagai : “….Rabies …..the incurable Indonesian wounds” (Anjing gila …..luka yang tak tersembuhkan …..).

SEJARAH RABIES DI INDONESIA

Di Indonesia, Rabies pada hewan telah ditemukan sejak 1889 pada seekor Kerbau di Bekasi. Pada manusia Rabies pertama kali dilaporkan pada 1894 oleh E.V. De Haan. Korbannya selalu berakhir dengan kematian, atau dapat dikatakan kasus Rabies selalu berakhir dengan kematian, (case fatality rate) adalah 100%.

PENYEBAB PENYAKIT

Hal tsb (case fatality rate) dapat dimengerti karena Rabies adalah Penyakit  infeksi akut yang disebabkan oleh VIRUS yang menyerang Susunan Syaraf Pusat bersifat menular dari hewan kepada manusia (zoonosis) . Virus Rabies termasuk keluarga Rhabdovirus genus Lyssavirus, bentuknya menyerupai peluru berukuran 180 um diameter 75 um. Pada permukaannya kelihatan bentuk paku (spikes) yang panjangnya sekitar 9 um. Virus Rabies peka terhadap panas, telah mati pada suhu 50 C selama 15 menit. Virus Rabies tersusun dari protein (67%), lemak (26%), RNA (Ribonucleic acid, 4%) dan karbohidrat (3%).
Virus Rabies mempunyai 2-macam antigen, yaitu glyco-protein dan antigen nucleoprotein. Sinar matahari dan ultra violet akan mematikan virus Rabies. Virus Rabies juga berselubung lemak yang mudah dilarutkan oleh deterjen.



                                        Virus Rabies  (Foto dari Drh C. Koesharyono)

PENJALARAN PENYAKIT

Didalam tubuh penderita, virus Rabies dengan cepat menyebar terutama kedalam Susunan Syaraf Pusat dan Kelenjar saliva (air liur), sedangkan organ-organ lainnya, kulit, kelenjar keringat, kornea mata, kelenjar adrenal, rectum, usus, ginjal, kandung kemih, pancreas dan limpa dapat terlibat pula.
Didalam air-susu, urine dan getah bening (lymphe) dapat pula ditemukan virus Rabies, meskipun jumlahnya sedikit saja. Virus Rabies terutama masuk kedalam tubuh penderita melalui luka-luka
dikulit karena gigitan hewan penderita, tetapi penularan virus Rabies dapat pula lewat jalur pernafasan (inhalasio) atau lewat saluran pencernakan karena makan bahan yang tercemar (peroral). Virus Rabies juga dapat terbawa angin dan masuk melalui kornea mata.

SIMPTOMATOLOGI

Semua hewan berdarah panas rentan terhadap infeksi virus Rabies, meskipun derajad ke-pekaannya bervariasi. Didaerah tropik, perantara utama (vector) Rabies adalah karnivora (hewan pemakan daging) seperti: anjing, kucing, kera, rubah, anjing hutan (srigala), skunk, mongoose, dll. Di Indonesia vector utamanya adalah anjing gelandangan dan liar. Di Amerika Tengah dan Selatan dikenal kelelawar (vampire) sebagai vector. Prof. Ressang (1960), ketika itu penulis masih sebagai mahasiswanya, meneliti Kalong Kebun Raya Bogor, ternyata mereka tidak membawa virus Rabies. Umumnya manusia dan sapi sebagai induk semang terakhir, artinya manusia dan sapi tidak meneruskan penyebaran virus Rabies..
Penderita (Hewan) memperlihatkan perilaku yang tidak biasanya, misalnya: ada perubahan temperamen, menyukai tempat dingin dan gelap, menggigit atau menyerang apa saja terutama yang bergerak, termasuk benda apapun yang dijumpai disekitarnya, seperti kandangnya, tempat makannya, batu, plastik, tali, rantai, dsb, hal ini berdasarkan temuan ketika dilakukan otopsi korban Rabies. Benda-benda “aneh” seperti itu seringkali ditemukan didalam alat pencer-nakannya.

BENTUK  PENYAKIT  RABIES

Diketahui ada 3 bentuk Rabies pada Hewan, sbb

1.    Bentuk Ganas (agresif)

Bentuk ini dikenal pula sebagai Furious Rabies. Bentuk ini paling berbahaya dan tahap rangsangnya (stadium eksitasinya) panjang (lama). Didalam air liur penderita ditemukan sangat banyak virus Rabies dengan kepekatan (konsentrasi) yang tinggi, itulah sebabnya gigitan hewan penderita seperti ini sangat berbahaya karena kemungkinan besar sekali virus masuk ketubuh lewat luka gigitan tsb. Bentuk ganas ini melalui tahap sbb:




1.1.        Tahap awal (prodromal), atau melankholik

     Pada tahap ini kejiwaan penderita (psikis) mulai tidak normal. Penderita menjadi pendiam, padahal biasanya lincah dan gembira. Bersembunyi ditempat dingin dan sunyi. Tetapi setelah itu penderita menjadi gelisah, berjalan dan berlari kebingungan tanpa arah. Seperti ada tanggapan sensorik (halusinasi), yaitu berbuat sesuatu yang tidak ada, bila dikejutkan gampang marah dan menggigit. Sensitifitasnya meningkat, misalnya ada suara atau cahaya memicu rangsangan menjadikan kejang, sesak nafas, dsb. Pupil mata melebar, menjilat-jilat, mengerat benda-benda disekitarnya, hilang nafsu makan, malah benda asing yang dimakannya, kesulitan menelan kemudian hipersalivasio, sulit defikasi dan urinasi, tetapi aneh kadang nafsu seksualnya meningkat

1.2.        Tahap kelumpuhan (paralisis) 

   Kaki belakang, rahang bawah sehingga tidak dapat menutup mulutnya, lidah menjulur dan hipersalivasio. Kelumpuhan menjalar kemembrana niktitan, sehingga penderita menjadi juling. Kelumpuhan kemudian menjalar kealat pernafasan, menjadi apatis dan kemudian mati.

2.    Bentuk Jinak (Dump Rabies)

Bentuk ini agak sulit dikenali, karena tidak memperlihatkan keganasan. Baru pada stadium yang lebih lanjutannya diketahui penderita menjadi lumpuh kedua kaki belakang dan rahang ba-wahnya.

3.    Bentuk Atipik

Alias tidak berbentuk, karena penderita sama sekali tidak menunjukkan gejala dan tanda, hanya mungkin penderita suka diam dan bersembunyi saja, tetapi bila akan dipegang/ditangkap akan menggigit. Inilah sebabnya para praktisi perlu diingatkan kala akan menangani hewan (terutama anjing, kucing, kera) berhati-hatilah dan waspada ! Tanyakan kepada pemiliknya apakah hewannya “nakal” atau tidak.

DIAGNOSIS

Anamnesis, yaitu mengorek informasi dengan cara wawancara yang teliti, meliputi: riwayat pasien, menggigit atau digigit hewan lainnya ?. Teliti adakah luka-luka dan perhatikan bentuk lukanya, karena luka gigitan hewan dapat tunggal atau jamak (multiple), sempit tetapi dalam, atau luka tersobek karena ketika digigit korban melawan atau menghindar dan tercakar. Diagnosis klinik harus diikuti dengan pemeriksaan laboratorium,

1.    Pemeriksaan mikroskopis, tentu saja karena penderita setelah mati dan dapat diambil hipokampusnya dan dibuat preparat sentuh dengan pewarnaan Seller . Arah pemeriksaan mikroskopis kepada pencarian badan Negri (Negri body). Pemeriksaan cara Seller ini cepat, hanya memakan waktu 5-10 menit dengan kekhasan (spesifisitas) hampir 100%, hanya saja kepekaannya (sensitifitas)nya rendah, kesalahan mencapai 30%. Kelebihan pemeriksaan ini adalah cepat, perlengkapan sederhana, hanya memerlukan mikroskop biasa, objek gelas dan zat warna Seller (Fuchsin dasar biru metilen dan metal alcohol)

2.    Uji antibody Fluoresen (FAT, Fluorecent Antibody Test). Uji ini cukup akurat karena kepekaannya (sensitifitas) nya dan kekhasan (spesifikasi)nya tinggi mendekati 100%. Waktu yang diperlukan sekitar 2 jam dan harus dilakukan oleh laboratorium yang lumayan canggih, karena memerlukan mikroskop FAT, tersedia bahan paduan (konjungate) Rabies yang harganya cukup mahal serta sumber daya manusia yang handal. Prinsip pemeriksaan ini adalah mendeteksi adanya antigen yang terdapat dalam serum penderita.

3.    Uji Biologik, sebagai kelanjutan pemeriksaan mikroskopik dan FAT, yaitu bila hasil pemeriksaan cara terdahulu itu negatif. Pemeriksaan biologik memerlukan waktu lama antara 4-21 hari, karena pemeriksaan biologik ini memerlukan 5 ekor hewan percobaan tikus putih (Swiss mice) yang berumur 3-4 minggu. Hewan percobaan ini (tikus putih) dapat diganti dengan kultur jaringan (neuroblastoma) yang hasilnya akan lebih cepat diketahui


Drh C. Kusharyono sedang mengambil sample dari hypocampus












DIAGNOSIS BANDING

Virus Rabies menyerang Susunan Syaraf Pusat, jadi memerlukan pertimbangan kemungkinan penyakit syaraf lainnya, seperti: radang otak (ensefalitis), lysteriasis (lysteria mono cytogenes). Jangan pula lupa dengan penyakit Aujeszky. Berikut kriteria pembedaan Rabies dengan Aujeszky,

                        Rabies                                                Aujeszky

            Ada riwayat gigitan                                         tidak ada riwayat gigitan
            Ada stadium prodromorum                             tidak ada stadium prodromorum
            Ada agresifitas                                                tidak agresif
            Sedikit/tidak ada gatal-gatal                           ada gatal hebat
            Berperilaku aneh                                             perilaku tidak berubah
            Cenderung makan benda asing                     tidak makan

pakaian praktikum dari plastic dan sepatu boot. Hewan piaraan/kesayangan terutama anjing, kucing dan primate hendaknya dimintakan vaksinasi anti-rabies setiap tahunnya dari Dokter Hewan Praktek dan mintalah sertifikat vaksinasinya (Dokter Hewan yang melakukan vaksinasi pasti akan memberikan sertifikat vaksinasi). Pastikan dalam sertifikat vaksinasi itu ditulis identitas hewannya, nama dan alamat sipemilik

PENGOBATAN
Seperti halnya penyakit infeksi oleh virus lainnya, maka obat untuk menanggulangi virus Rabies juga tidak ada, yang ada adalah upaya pencegahan

PENCEGAHAN

Virus Rabies dapat dimatikan dengan bahan-bahan pemati-hama (desinfektansia) seperti phenol, eter, chloroform, formaldehida dan basa ammonium. Ada klasifikasi upaya pencegahan Rabies  sbb:

1.    Sebelum kontak dengan hewan tersangka (pre exposure).

Seyogyanya orang yang bekerja dekat dengan hewan seperti : Dokter Hewan Praktisi, Paramedikus, Karyawan Rumah Sakit Hewan, Kennel, Pembudidaya hewan (cattery, dogery, dll), laboran dengan material tersangka Rabies, Kebun Binatang, Rumah Pemotongan Hewan, Pelatih hewan, petugas razia hewan liar, dan jangan lupa pemilik/penyayang hewan piara. Golongan disebut diatas adalah golongan beresiko tinggi, seyogyanya mereka divaksinasi terhadap Rabies. Vaksinasi terhadap Rabies dilakukan: dengan Purified Vero Anti Rabies Vaccine (PVRV) cukup dengan dosis 0,5 ml diberikan 2 kali. Atau dengan Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dengan dosis 1 ml diberikan 2 kali pada hari ke-0 dan ke-28, suntikan intramuskuler atau subkutan di lengan bagian atas
Bagi mereka yang telah mendapatkan vaksinasi pre-exposure, tetapi kurang dari 12 bulan mengalami gigitan hewan tersangka, maka vaksinasi perlu diulang dengan 2 kali dosis pada hari ke-0 dan hari ke-28. Bila gigitan terjadi setelah lebih dari 12 bulan dari vaksinasi pre-exposure, maka perlu mendapatkan vaksinasi ulang (booster vaccination) menurut jadwal 2-1-1 (metoda Zagreb), sebagaimana halnya vaksinasi post-exposure
Golongan orang yang bekerja dilingkungan resiko tinggi seperti telah disebutkan terdahulu, dalam bekerja diharuskan mengenakan masker (penutup hidung dan mulut), sarung tangan, dan ditempelkan label vaksin apa yang diberikan, tanggal vaksinasi dilakukan, kemudian tanda tangan dan stempel Dokter Hewan yang memberikan vaksinasi tsb. Seringkali ditemukan “sertifikat vaksinasi” tanpa identitas hewannya dan tanda tangan, nama dan stempel Dokter Hewan. Banyak klien mengira kalau disuntik Dokter Hewan mengira suntikan tsb adalah vaksinasi. Vaksinasi anti-rabies pada hewan (anjing, kucing, kera) di Indonesia sudah lama dilakukan dengan vaksin anti-accine (PVRV) dan Human Diploid Cell Vaccine (HDCV), seperti telah disinggung terdahulu.
Sebelum ada vaksin anti-rabies (a) dan (b) tsb, vaksin dibuat dari otak monyet (monkey brain vaccine), kecuali disuntikkan lebih banyak (dosis 2 ml diberikan sampai 14-21 kali) juga seringkali menibulkan efek samping yang buruk berupa radang (selaput) otak, sehingga orang takut menerima vaksin tsb. Dengan vaksin anti-rabies (a) dan (b) dengan dosis 0,5-1 ml yang diberikan 5 kali untuk rawatan post-exposure atau cukup 2 kali untuk pencegahan. Vaksin tipe ini hamper tidak menimbulkan efek samping buruk sama sekali.



                                      Vaksinasi terhadap Rabies untuk manusia

1.    Sudah kontak dengan tersangka (post exposure treatment)

Korban gigitan akan dievaluasi lukanya, apakah luka jamak (multiple wounds), luka ringan, hanya goresan, luka dalam atau dangkal, lokasi luka (makin dekat otak/kepala makin berbahaya) dsb sebagai bahan evaluasi luka.
Kemudian Dokter yang merawat akan menentukan apakah korban akan diberi serum, yaitu tindakan memberikan antibody netralisasi yang tinggi dalam waktu singkat atau tindakan dengan memberikan serum dan vaksin sekaligus (sero-vaksinasi), yaitu memberikan antibody netralisasi pasif dan aktif sekaligus dengan maksud memberikan kekebalan yang tahan lama dengan dosis seperti telah diutarakan terdahulu.
Pada waktu ini telah ada 2 macam serum anti-rabies sbb:

a.    Serum anti-rabies yang dibuat dari serum kuda yang telah divaksinasi terhadap rabies sebelumnya. Karena serum ini berasal dari lain spesies, maka disebut serum heterolog, karena berasal dari kuda maka disebut pula Equine Rabies Immunoglobine (ERIg). Dosis yang direkomendasikan menurut pembuatnya, yaitu untuk produksi Perum Bio Farma 0,5 ml/kg berat badan, untuk serum produksi Iffa Merieux dosis 0,2 ml/kg berat badan. Dengan menggunakan serum heterolog tentu saja ada resiko efek samping, oleh karena itu perlulah dilakukan terlebih dahulu uji-kulit (skin test). Bila dari uji-kulit tersebut didapatkan infiltrate >1 cm, maka serum heterolog jangan dipakai.

b.    Serum Homolog, yaitu serum yang berasal dari serum manusia yang diambil dari donor yang disebut pula Human Rabies Immunoglobine (HRIg). Dengan HRIg tidak diperlukan uji-kulit dahulu dan dosisnya lebih kecil yaitu 0,1ml/kg berat badan dan disuntikan disekitar luka (gigitan)
Menurut penelitian Vodopija dan Sureau (1986), vaksinasi dengan PVRV untuk post-exposure bahkan dapat dipendekkan menjadi 4 kali suntikan saja yaitu pada hari ke-0 2 kali dosis disuntikkan ditempat berbeda, kemudian dosis berikutnya pada hari ke-7 dan dosis berikutnya lagi pada hari ke-21. Metode demikian disebut metode Zagreb atau metode 2-1-1. Dengan metode Zagreb ini pada hari ke-21, antibody netralisasi yang ditimbulkan dapat  mencapai 0,4 – 270,3 IU/ml, jauh melebihi syarat minimal yang ditentukan yaitu 0,5 IU/ml dengan metode RFFIT

            ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT

Anjing, kucing dan kera adalah hewan yang telah lama menjadi hewan piaraan/kesayangan orang, maka ketiga spesies hewan tsb paling umum sebagai penyebar virus Rabies. Kasus gigitan hewan penyebar Rabies terjadi sbb: oleh anjing (90%), kucing (6%), kera (3%) dan hewan lainnya (1%). Dalam suatu survey, lokasi/daerah gigitan oleh hewan tersangka sbb: daerah kepala (5,44%), tubuh (9,1%), tangan (25,72%), kaki (59,72%). Sedangkan korban gigitan menurut jenis kelamin adalah laki (59,7%) dan perempuan (40,3%). Dari aspek umurnnya mereka adalah <15 th, yang terakhir ini barangkali disebabkan karena anak-anak seusia itu baru aktif dan “nakal”.
Apa yang harus dilakukan bila seseorang digigit, dicakar, kontak dengan hewan (terutama anjing, kucing, kera) yang dicurigai mengidap Rabies ?

1.    Terhadap orang korban gigitan

a.    Cuci segera luka gigitan dibawah air mengalir dengan sabun atau deterjen selama 5-10 menit. Tindakan ini dimaksudkan untuk mematikan virus yang ada diluar luka, paling tidak akan sangat mengurangi jumlah virus yang mungkin masuk kedalam luka.



b.    Oleskan pada luka bahan antiseptika, misalnya: alcohol 70%, obat merah, merkurikrom, jodium tinktur 5-7% atau betadin. Luka gigitan tidak perlu dijahit.

c.     Konsultasikan ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau rumah sakit terdekat agar luka dievaluasi lebih lanjut dan diambil tindakan pengobatan seperlunya misalnya dengan memberikan antibiotika, antitetanus toksoid, untuk mengcegah infeksi sekunder oleh mikroorganisme lainnya.

(Note : untuk wilayah DKI Jakarta, korban (manusia) gigitan hewan (anjing, kucing, kera), setelah diberikan perawatan pendahuluan seperti tsb diatas, hendaknya segera dibawa ke:

a.    Rumah Sakit Infeksi “Prof. Dr Sulianti Sarosa”, JL. Sunter Baru Permai Raya, Jakarta Utara, atau
b.    RSUD “Tarakan”, Jl. Tarakan, Jakarta Pusat)

2.    Terhadap Hewan (anjing, kucing, kera) yang menggigit atau digigit,

a.    Upayakan dapat ditangkap (hati-hati) dan jangan dibunuh
b.    Laporkan kejadian tsb kepada pejabat setempat (RT, RW, Kelurahan, dst) dan atau Dinas Peternakan/Kesehatan Hewan setempat agar hewan tsb diobservasi selama 10-14 hari menurut prosedur yang berlaku. Dalam rumah observasi ini hewan akan dipelihara biasa saja (diberi makan, minum, dsb) tidak diberi pengobatan apapun karena tujuannya untuk diobservasi. Observasi hewan tersangka ini hanya dilakukan oleh Dokter Hewan yang berwenang, tidak boleh oleh setiap Dokter Hewan meskipun Dokter Hewan tsb memiliki izin praktek sekalipun.

(Note: untuk wilayah DKI Jakarta, Rumah Observasi Rabies berada di Jl. Harsono RM No. 10, Ragunan, Jakarta Selatan)

ASPEK PERATURAN & PERUNDANGAN

Rabies, yang telah lebih seabad berada di Indonesia adalah Penyakit Zoonosis yang paling menggelisahkan dan ditakuti masyarakat, termasuk Dokter Hewan sekalipun !. Akibatnya fatal, karena itu mencemaskan masyarakat. Penyebaran Rabies justru meluas. Propinsi Bali, NTT yang dahulu bebas Rabies, saat ini sudah tercemar. Berkenaan dengan itulah, dalam rangka menunjang operasional penanggulangan Rabies, telah banyak dibuat Peraturan dan Perundangan, bahkan sudah sejak zaman kolonial, antara lain:

1.    Staatblad 1912 No. 432 dan 435
2.    Staatblad 1926 No. 451 dan 452 yang dikenal sebagai Hondsdolheids Ordonantie
3.    UU Pokok Kesehatan No. 9/1960
4.    Surat Keputusan Bersama 3-Menteri
No. 279A/MenKes/SK/VIII/1978
No. 522/Kpts/Um/8/78
No. 143/1978
5.    Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 363/1982, tentang pedoman khusus Pencegahan dan Pemberantasan Rabies.
6.    UU Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 18/2009
Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 363/1982, tentang pedoman khusus Pencegahan & Pemberantasan Rabies, disebutkan sbb:
a.    Pengawasan lalu lintas hewan dengan ketat diwilayah yang bebas Rabies
b.    Pencegahan & Pemberantasan Rabies didaerah tertular satu persatu dengan prioritas daerah di Jawa dan Kalimantan
c.     Menjalin dan meningkatkan kerja-sama antar institusi bahkan dengan luar negeri, terutama Negara tetangga
d.    Koordinasi pelaksanaan yang kuat dari tingkat atas sampai dengan tingkat bawah
e.    Menyediakan vaksin anti-rabies yang cukup jumlahnya dan tinggi mutunya
f. Meningkatkan kemampuan laboratorium sampai ketingkat wilayah untuk me-lakukan diagnosis dengan cepat
g.    Mengikut sertakan peran masyarakat.

Badan Koordinasi penanggulangan Rabies sebenarnya telah lama dibentuk pada tahun 1978 dengan anggota Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri. Badan ini ada ditingkat atas sampai tingkat bawah.

Pengendalian Rabies di lapangan pada pokoknya terdiri dari :

1.    Melakukan vaksinasi massal dengan target dapat divaksinasi 70% dari jumlah populasi anjing
2.    Eliminasi anjing yang tak bertuan dan gelandangan
3.    Prosedur karantina yang ketat

Rabies juga mungkin ditularkan oleh hewan/satwa liar. Oleh karena itu di luar negeri, sebagai contoh yang mungkin dapat dilaksanakan di Indonesia diambil missal: di Texas (USA) ada program yang disebut The Texas Oral Rabies Vaccination Programme (ORVP) 1999-2000 , untuk menciptakan wilayah bebas Rabies di tempat sebangsa ras anjing lokal yaitu coyote dan gray fox, sebanyak-banyaknya dapat divaksinasi dengan vaksin Rabies peroral. Program tsb dilaksanakan terpadu oleh banyak organisasi baik pemerintah maupun swasta.
Program tsb dilaksanakan sbb:
Sebanyak 2,5 juta dosis vaksin individual ditargetkan untuk wilayah seluas  40.000 mil persegi setiap tahunnya. Satu sachet plastic berisi 2 ml vaksin anti-rabies dicampurkan ke dalam komposit tepung ikan yang disukai coyote dan gray fox tadi. Diharapkan hewan target mengoyak sachet berisi vaksin plus tepung ikan tsb dan dimakanlah vaksin tsb. Vaksin anti-rabies yang dipakai dalam program ini adalah buatan Raboral V-RG produksi Merial Ltd, Athens, Georgia.


            DAFTAR REFERENSI
           
            Anonim                        : Merck’s Veterinary Manual, 7th Ed. Merck’s & Co, Inc, 1991
: Pencegahan & Pembrantasan Rabies, Dir. Keswan, Dirjen Peternakan, Depten 1982
: Symposium Nasional Rabies, Kumpulan Makalah PDHI Cab. Bali, 1984
……………                   : Pedoman Pengendalian Penyakit Menular, Dir Keswan, Dirjen Peternakan, Deptan 1985
…………..                 : Petunjuk khusus cara Pencegahan, Pembrantasan dan Pengobatan    Penyakit Hewan Menular, Dir Keswan,Dirjen Peternakan, DepTan, 1986
…………..                  : Proceeding Seminar Rabies, Zoonosa & Anthrax, FAPET UNDIP-PDHI, 1991

Dharmojono                : 15 Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia, Milenia Populer, 2001

          Dharmojono, Kusharyono C, Oni Saaroni: Rabies pada Hewan dan Manusia, Seminar PDHI Jabar, Bandung, 1994

     Kusharyono, C, Sitti Ganefa : Penanganan Rabies pada hewan dan manusia di Indonesia, Kursus Dokter Hewan Praktek, Jakarta, 1993

………………               : Rabies control and the future prospects in Indonesia, FAVA 9th Congress, Yokohama Jepang 1995

      Mudijono, GM Susanto, ERJ Siregar,SB: Evaluasi hasil vaksinasi anti-rabies pada anjing, Temu Ilmiah Nasional Veteriner, Bogor, 1996

          Ressang, AA                : Penyakit Viral pada Hewan, UI-Press, 1988

          WHO                             : Guidelines for dog rabies control, Geneva, 1987






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar